Minggu, 20 April 2014

sejarah perekonomian. Sela Dayana. A



Ekonomi Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin 1958-1966
Mata Kuliah Sejarah Perekonomian



Disusun oleh :
Sela Dayana Arifin
Nirm: 4322311030020
Program Studi : Pend.Sejarah.
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
(STKIP) SETIA BUDHI RANGKASBITUNG
Jl. Budi Utomo No.22 L Komplek Pendidikan Rangkasbitung
                                                        2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk ekonomi pada dasarnya selalu menghadapi masalah ekonomi. Inti dari masalah ekonomi yang dihadapi manusia adalah kenyataan bahwa kebutuhan manusia jumlahnya tidak terbatas, sedangkan alat pemuas kebutuhan manusia jumlahnya terbatas.
Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi. Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain :
a.       Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai berikut :Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan.

b.      Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga naik 400
c.       Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkanangkainflasi.

Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat. Sekali lagi, ini juga salah satu konsekuensi dari pilihan menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik, ekonomi, maupun bidang-bidang lain.





  
B. Rumusan Masalah
1)      Apa pengertian Ekonomi?
2)      Bagaimana karakteristik Ekonomi Terpimpin?
3)      Deskripsikan Ekonomi Terpimpin?
C. Tujuan
1.      Mengembangkan ilmu yang diperoleh selama mengikuti mata kuliah Sejarah Perekonomian.
2.      Memperoleh keterampilan dari hasil penyusunan makalah yang telah diselesaikan.
3.      Menambah wawasan serta ilmu pengetahuan tentang Perekonomian yang pernah ada di Indonesia.





BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Ekonomi
Ekonomi merupakan salah satu ilmu sosial yang mempelajari aktivitas manusia yang berhubungan dengan produksi, distribusi, dan konsumsi terhadap barang dan jasa. Istilah "ekonomi" sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu (oikos) yang berarti "keluarga, rumah tangga" dan (nomos) yang berarti "peraturan, aturan, hukum". Secara garis besar, ekonomi diartikan sebagai "aturan rumah tangga" atau "manajemen rumah tangga." Sementara yang dimaksud dengan ahli ekonomi atau ekonom adalah orang menggunakan konsep ekonomi dan data dalam bekerja.
Apa sebenarnya yang di maksud dengan ekonomi terpimpin itu? Apakah sama artinya dengan system ekonomi di mana pemerintah ikut campur tangan dalam soal ekonomi? Apakah ekonomi terpimpin itu identic dengan ekonomi berencana? Ada juga di pakai istilah “ekonomi yang di rencanakan”.
Ekonomi terpimpin adalah ekonomi yang terarah. Terarah oleh apa? Oleh suatu “planning” atau rencana, bukan rencana ekonomi perorangan atau planning ekonomi golongan tertentu, melainkan planning ekonomi nasional, planning yang sentral dan planning ini adalah inheren dengan pengertian sosialisme.
Perorangan  dapat pula mengadakan planning ekonomi bagi perusahaannya, tetapi ini bukan ekonomi terpimpin karena planning itu hanya di tujukan kepada kepentingan pribadi. Ikut campur tangan pemerintah dalam lapangan ekonomi bukan merupakan ukuran untuk menentukan adanya ekonomi terpimpin.
Di America serikat di bawah pimpinan presiden Roosevelt  dalam tahun 1933 dilakukan politik new deal, dimana pemerintrah ikut campur tangan dalam lapangan ekonomi yang antara lain membuat rencana besar-besaran untuk memberantas pengangguran, tetapi di sini belum dapat dikatakan adanya ekonomi terpimpin. Dalam tahun-tahun sebelum dekrit presiden tanggal 5 juli 1959, kita mempunyai juga rencana pembangunan 5 tahu, tetapi pada waktu itu karena masih di anut politik ekonomi liberal, tidak di rasa adanyaekonomi trpimpin yang di kuasai oleh dan dari pemerintah pusat. Campur tangan pemerintah secara insidentil dalam lapangan ekonomi bukan ekonomi terpimpin.
2.      Tujuan Ekonomi Terpimpin
Apa sebenarnya tujuan daripada ekonomi terpimpin itu? Tujuannya ialah “masyarakat yang adil dan makmur” berdasarkan pancasila dank arena itu ekonomi terpimpin hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan. Ada sebagian orang berpendapat, bahwa ekonomi terpimpin itu merupakan tujuan.
Apa ciri-ciri ekonomi terpimpin?
1.      Ada tujuan yang hendak di capai
2.      Ada penguasaan secara keseluruhan
3.      Ada pemusatan penguasaan secara sentral
4.      Cara pelaksanaannya di teteapkan dengan rencara-rencana.
Tujuan itu mengarahkan segala tindakan ekonomi kepada satu jurusan yang sama. Dalam ekonomi terpimpin Indonesia kita temukan prinsip yang di jadikan dasar, yaitu:
1.      Adil dan makmur
2.      Hak milik perorangan atas factor-faktor produksi (yang tidak termasuk industry berat) di akui dan di nyatakan mempunyai fungsi social
3.      Tidak di benarkan adanya perbudakan atau exploitation de I’home par I’homme.
4.      Tidak ada kecemasan terhadap hari tua dan saat tak mampu bekerja
5.      Kekayaan umum yang berlimpah-limpah di gunakan untuk kepentingan umum.

Istilah ekonomi terpimpin ini tidak di gunakan lagi, karena mengingatkan kita pada masa orde lama. Lebih banya kita jumpai istilah ekonomi berencana dan ekonomi terarah. Kita memepunyai rencana ekonomi yang menyeluruh yang di kenal dengan nama Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana yang di susun oleh Depernas dan kemudian di sahkan melalui ketetapan MPRS No. II/MPRS/60. Dalam ketetapan ini di tetapkan rencana pembangunan yang dilakukan secara menyeluruh, serta penyelenggaraannya di kuasai dan di atur secara sentral dari pusat. 

Dalam amanat presiden soekarno di muka siding umum MPRS ke III pada tanggal 11 april 1965 di tegaskan bahwa pola pembangunan itu sudah tidak tepat lagi dan tidak cocok lagi dengan tuntutan zaman dan perkembangan revolusi kita pada tingkat sekarang, maka oleh sebab itu harus di sesuaikan dengan Deklarasi Ekonomi (Dekon) dan tavip serta tingkat perkembangan revolusi Indonesia.
Kita boleh merubah dan kita boleh menyesuaikan, tapi satu yang pasti, bahwa kita tidak boleh merubah dan memodulir kepribadian kita sendiri.
Untuk dapat membuat rencana yang baik dan yang dapat di laksanakan perlu terlubih dahulu di adakan inventarisasi dari “resources” yang ada pada kita. Perlu kita ketahui terlebih dahulu  kapasitas-kapasitas yang ada di masyarakat. “resources” itu bukan saja modal tetapi terdiri juga dari tenaga-tenga manusia antara lain tenaga pimpinan, tenaga ahli, tenaga teknik, tenaga administrasi, tenaga kasar dan sebagainya.
Berdasarkan resources yang materil, mental dan spiritual di susun lah rencana yang bisa di capai. Rencana itu harus cukup realistis tidak boleh terlampau muluk-muluk, dan harus cukup memberi dorongan atau spirit kepada masyrakat, tetapi juga tidak boleh terlalu rendah sehingga dapat di capai dengan mudah.






3.      Pengendalian ( Contol )
          Masalah selanjutnya dalam ekonomi terpimpin yang perlu mendapat perhatian ialah masalah “control” atau pengendalian. Bagai mana caranya pemerintah mengendalikan perekonomian seluruhnya? Ada tiga cara, yaitu:
1.      Cara yang langsung
2.      Cara yang tidak langsung
3.      “persuasion”
·         Cara yang langsung ialah cara pengendalian perekonomian yang terutana di tujukan kepada perusahaan-perusahaan Negara, dengan jalan memberikan perintah kepada perusahaan itu untuk memprodusir macam barang tertentu dan dalam jumlah sesuai dengan rencana. Menasionalisir dan mengambil alih perusahaan asing atau swasta termasuk dalam control secara langsung.
·         Cara yang tidak langsung ialah cara pengendalian perokonomian dengan melakukan fiscal policy (kebijaksanaan fiscal,) kebijaksanaan kredit dan kebijaksanaan moneter. Denga kebijaksanaan fiscal, kebijaksanaan kredit dan kebijaksanaan moneter ekonomi dapat di arahkan dan di dorong ke jurusan tertentu atau di cegah atau di hambat untuk  berkembang kearah tertentu.
·         “Persuasion” atau ajakan ialah cara pengendalian yang di lakukan dengan memberi penerangan agar supaya orang menjadi insyaf dan di dorong ikut melaksanakan rencana ekonomi pemerintah, sehingga para usahawan dapat menyesuaikan usahanya kepada rencana ekonomi itu.
Cara yang kedua dan ketiga ini ditujukan kepada pengusaha-pengusaha swasta.
Masalah kontrol adalah masalah yang penting sekali, karena berhasilnya pelaksanaan suatu rencana ekonomi itu tergantung pada luas sempitnya control pemerintah terhadap perekonomian itu.














4.      Sistem Ekonomi Terpimpin
Untuk merencanakan pembangunan ekonomi di bawah Kabinet Karya, pada tahun 1958 di buat undang-undang mengenai pembentukan Dewan Perancang Nasional yaitu undang-undang No.80/1958. Menurut pasal 2 undang-undang ini, tugas Dewan Perancang Nasional adalah:
a)      Mempersiapkan rancangan undang-undang pembangunan nasional yang berencana (pasal 2)
b)      Menilai penyelenggara pembangunan itu (pasal 3).
Berdasar kan Undang-undang No.80 Tahun 1958 ini, pada tanggal 19 januari 1958, di keluarkan peraturan pemerintah No.2 Tahun 1958, yang mengatur tugas dan susunan Dewan Perancang Nasional. Pada tanggal 15 agustus 1959 terbentuklah dewan perancang nasional (DEPERNAS) di bawah pimpinan Mr. Yamin sebagai wakil menteri pertama yang beranggotakan 80 orang wakil golongan masyarakat dan daerah. Dalam waktu kurang lebih satu tahun, yaitu pada tanggal 26 juli 1960, DEPERNAS berhasil menyusun suatu “Rancangan Dasar Undang-undang Pembangunan Nasional Sementara Berencana Tahapan Tahun 1961-1969”. MPRS menyetujui rancangan tersebut dengan TAP No.2/MPRS/1960.
            Pada tahun 1963, dewan perancang nasional berganti nama dan statusnya menjadi badan perancang pembangunan nasional (BAPPENAS) yang di pimpin oleh presiden Soekarno. Bappenas mempunyai tugas menyusun rencana pembangunan jangka panjang dan rencana tahunan baik nasional maupun daerah, mengawasi laporan pelaksanaan pembangunan, dan menyiapkan, dan menilai Mandataris untuk MPRS.
            Kekacauan politik pada tahun 1959 terjadi bersamaan dengan kekacauan ekonomi, yang melahirkan inflasi. Dalam rangka membendung inflasi di keluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang No.2 tahun 1959 yang mulai berlaku tanggal 25 agustus 1959 pukul 06.00 pagi. Peraturan itu di maksudkan untuk mengurangi banyaknya uang dalam peredaran untuk kepentingan perbaikan keuangan dan perekonomian negara. Untuk mencapai tujuan itu nilai uang kertas pecahan Rp.500,00 dan Rp.1000,00 yang ada dalam peredaran pada saat berlakunya peraturan itu di turunkan masing-masing menjadi Rp.50.00 dan Rp.100.00.
            Selain kebijakan menurunkan inflasi juga di keluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang No.3 tahun 1959 tentang pembekuan sebagian simpanan pada bank-bank yang di maksudkan untuk mengurangi banyaknya uang yang beredar, yang trutama dalam tahun 1957 dan 1958 sangant meningkat jumlahnya.
            Hal-hal yang merugikan keuangan negara, antara lain adalah perdagangan ekspor-impor dan perdagangan dalam negeri.  Penghasilan negara berupa devisa dan penghasilan lain yang merupakan sumber-sumber penting untuk penerimaan negara dalam mata uang rupiah ikut merosot. Denagan demikian, defisit anggaran belanja menjadi lebih besar lagi, dan hanya sebagian kecil yang dapat di tutup dengan pinjaman-pinjaman dari luar negeri. Hal-hal itu menyebabkan bertambahnya pencetakan uang kertas.
            Serangkaian peraturan-peraturan moneter yang di lakukan sesudah tanggal 25 agustus 1959 di akhiri dengan, peraturan pemerintah pengganti undang-undang No.6/1959, yang isi pokoknya adalah ketentuan bahwa bagian uang lembaran Rp.1000,00 dan Rp.500,00 yang masih berlaku (dan yang bernilai Rp.100,00 dan Rp.50,00) harus di tukar dengan uang kertas bank baru sebelum tanggal 1 januari 1960. Untuk menampung akibat-akibat tindakan moneter dari bulan agustus 1959 di bentuklah panitian penampung operasi keuangan (PPOK). Tugas pokok panitia ini adalah menyelenggarakan tindak lanjut dari tindakan moneter itu, tanpa mengurangi tanggung jawab menteri, departemen, dan jawatan yang bersangkutan.
             Akibat utama kebijakan moneter pemerintah ialah terjadinya kesukaran likuiditas di semua sektor, baik sektor pemerintah maupun sektor swasta. Keadaan ini pada hakikatnya merupakan suatu kesempatan yang baik untuk mengadakan penertiban segala kegiatan pemerintah dan swasta, yang sebelumnya tidak terkendalikan.
            Untuk tujuan itu pemerintah menginstruksikan penghematan bagi instansi pemerintah serta memperketat pengawasan semua pelaksanaan anggaran belanja, juga di usahakan untuk menertibkan manajemen dan administrasi perusahaan-perusahaan negara baik yang lama maupun yang baru di ambil alih dari kepemilikan Belanda. Dengan tindakan moneter tanggal 25 agustus 1959 itu, pemerintah berhasil mengendalikan inflasi dan mencapai keseimbangan serta kemantapan moneter dengan menghilangkan execess liquidity dalam masyarakat. Penyaluran uang dan kredit baru di arahkan kebidang usaha yang di pandang penting bagi kesejahteraan rakyat dan pembangunan. Akan tetapi, pada akhir tahun 1959 hanya lebih kurang empat bulan tindakan moneter tersebut sudah membuktikan pemerintah mengalami kegaglan.
Peredaran uang pada akhir juli 1959 mencapai jumlah Rp.33.987 juta, sedangkan pada akhir agustus 1959 Rp.20.999 juta, jadi turun Rp.12.988 juta atau 38.2% dalam satu bulan. Akan tetapi, pada akhir desember 1959, jumlah uang yang beredar mencapai Rp.34.883 juta. Setahun kemudian, pada akhir tahun 1960 volume uang yang bredar meningkat sampai Rp.47.847 juta, yaitu 37 % lebih tinggi daripada akhir tahun 1959. Volume uang itu terus meningkat setiap tahun dengan presentase yang tinggi,  sampai mencapai puncaknya pada akhir tahun 1966. Pada akhir tahun 1959 jumlah yang beredar hanya Rp.34.889 juta atau di bulatkan Rp.35 miliar, pada akhir tahun 1966 mencapai jumlah Rp.22.208 miliar atau 635 kali. Kenaikan peredaran uang yang luar biasa ini, kecuali tindakan moneter agustus 1959 juga akibat dari kebijakan moneter ke dua, yakni pengeluaran uang rupiah pada tanggal 13 desember 1965 dengan panetapan presiden RI No.27 tahun 1965.
          Akibat pengeluaran uang rupiah baru yang nilainya di tetepkan sebesar 1000 kali uang rupiah lama, bukanlah harga barang-barang dalam rupiah baru menjadi seperseribu harga dalam rupiah lama, melainkan:
1.      Pengeluaran pemerintah dari Rp (baru) 2.526 juta dalam tahun 1965 meningkat menjadi Rp (baru) 29.867 juta, atau lebih kurang 12 kali
2.      Peredaran uang dari Rp (baru) 25.72 miliar dalam tahun 1965 menjadi Rp (baru) 22.208 miliar dalam tahun 1966, atau sembilan kali.
Nilai tukar antara uang rupiah baru dengan uang rupiah lama, begerak antara 1: 10, jadi hanya di nilai oleh umum lebih kurang 10 kali lebih tinggi dari pada uang rupiah lama dan bukan 1000 kali.
Kebijakan moneter itu tidak mencapai sasarannya karena pemerintah tidak mempunyai kemauan politik untuk menahan diri dalam pengeluaran-pengeluarannya. Untuk menyelenggarakan apa yang di kenal dengan proyek-proyek mandataris, atau di juluki proyek mercusuar. Seperti games of the new emerging forces (gonefo) dan conference of the new emerging forces (conefo), pemerintah terpaksa mengadakan pengeluaran-pengeluaran yang setiap tahun semakin besar, hingga inflasi semakin tergencet. Tingkat kenaikan harga-harga paling tinggi terjadi dalam tahun 1965 (antara 200%-300% dari harga tahun 1994) selaras dengan tingkat kenaikan peredaran uang dan yang paling tinggi terjadi dalam tahun 1965. Karena ekspor merana, imporpun harus di batasi karena kekurangan devisa.
Sejak tahun 1961, Indonesia terus-menerus membiayai kekurangan neraca pembayarannya dari cadangan emas dan devisa. Pada akhir tahun 1965, untuk pertama kali dalam sejarah moneternya, indonesia membelanjakan cadangan emas dan devisanya dengan saldo negatif sebesar US $3 juta, sebagai akibat politik konfrontasi terus menerus yang di lakukan.
Pada pelaksanaan ekonomi terpimpin itu juga, bank-bank negara tidak cukup hanya di koordinasikan oleh suatu instansi, tetapi oleh presiden soekarno di anggap perlu mengintegrasikan semua bank negara kedalam suatu organisasi bank sentral. Untuk itu, di keluarkan penetapan presiden No.7 tahun 1965 tentang pendirian bank tunggal milik negara. Pertimbangan pembentukannya di dasarkan atas UUD RI dan doktrin-doktrin revolusi Indonesia. Tugas bank adalah  menjalankan aktifitas-aktifitas bank sirkulasi, bank sentral, dan bank unmum.
Sebagai langkah pertama untuk menuju bank tunggal milik negara itu pada tahap awal di adakan peleburan bank-bank negara seperti: bank koperasi dan nelayan (BKTN), bank umum negara, bank tabungan negara, dan bank negara indonesia ke dalam bank indonesia. Sesudah terbentuknya bank Indonesia, pada awal tahap di bentuk bank negara indonesia. Bank negara indonesia di bagi dalam beberapa unit, dan tiap-tiap unit menjalankan pekerjaannya menurut aturan-aturan pendirinya.
Keadaan demikian itu berlangsung terus sampai bank tunggal itu di bubarkan dengan berlakunya undang undang No.13 tahun 1968. Yang mengatur kembali struktur dan tugas atau peran bank sentral ialah bank indonesia. Satuhal lagi yang menarik dari pembentukan bank-bank ini adalah: bahwa pengintegrasian bank-bank negara kedalam bank tunggal di atur melalui penetapan presiden, sedangkan bank-bank yang bersangkutan, sebelum di integrasikan, di dirikan atas dasar undang-undang atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang.


5.      Perdagangan Dan Pengkreditan Luar Negeri
Ekonomi Indonesia bersifat agraris, karena lebih kurang 80% dari penduduk hidup dan berkecimpung dalam bidang pertanian. Sebagian hasil pertanian atau perkebunan yang di hasilkan setiap tahunnya di jual dan di ekspor keluar negeri untuk memperoleh devisa atau  valuta asing guna membeli atau mengimpor barbagai bahan baku dan barang konsumsi yang belum dapat di hasilkan di Indonesia. Oleh karena itu, untuk dapat mengimpor kebutuhan-kebutuhan dari luar negeri adalah mutlak, neraca perdagangan kita dengan luar negeri harus menunjukan trems of trade yang menguntungkan. Apabila itu belum tercapai, terpaksalah di cari bantuan, atau juga di sebut kredit luar negeri, supaya dapat membiayai impor. Hal ini membawa konsekuesi yang tidak di inginkan oleh pemerintah yang terpaksa membuat utang-utang di luar negeri.
Suatu Negara pada umumnya tidak bersedia mengikat perjanjian perdagangan dengan Negara lain apabila Negara kreditor itu tidak melihat adanya prospek komersial yang menguntungkan bagi negaranya sendiri, dan apabila tidak di lakukan juga ikatan perdagangan yang pada tahap pertama tidak bersifat komersial dengan Negara peminjam. Hal demikian itu hanya terjadi dengan syarat-syarat politik tertentu, maupun dengan tujuan-tujuan komersial jangka panjang, misalnya dengan harapan bahwa Negara peminjam itu di kemudian hari akan menjadi Negara pelanggan dari barang-barang yang di ekspor dari Negara itu. Akan tetapi, jika titik beratnya lebih bersifat polotis, bantuan yang di berikan juga dengan harapan bahwa Negara peminjam itu dapat di masukan dalam pengaruh politiknya. Apabila suatu Negara terpaksa melakukan peminjama di luar negeri, harus di usahakan sekuat tenaga, dan dalam waktu sesingkat-singkatnya utang-utangitu segera di lunasi agar Negara itu tidak termasuk perangkap ekonomi atau politik dari Negara peminjamnya.
Kredit-kredit luar negeri boleh di terima untuk pembangunan dan perluasan aparat produksi nasional sehingga dapat memperbesar volume komoditas ekspor guna membayar utang-utang luar negeri dan kepentingan lainnya.
Politik luar negeri  pada masa demokrasi terpimpin di bidang perdagangan dan pengkreditan memiliki kecenderungan untuk menerapkan ajaran marxisme yang berstandar kepada prinsip realitas yang ada dalam masyarakat dan aktifitas politiknya di sesuaikan dengan realitas yang di temukan. Disinilah letak sumber pengertian dan latar belakang tindakan-tindakan pemerintahan soekarno selama demokrasi terpimpin itu mengenai pengkreditan luar negeri di landasi dengan konsep meng-arragement dan readjustment dengan negara-negara kreditor yang berlaku secara internasional. Namun, di satu pihak masyarakat Indonesia yang baru merasakan kemerdekaannya justru beranggapan bahwa utang luar negeri identic dengan penghasilan.
Politik ekonomi sangat rentan terhadap bahaya yang berupa insolvensi internasional dari suatu Negara karena suatu Negara dapat di tarik kedalam suatu blok, fakta, atau lingkungan pengaruh. Salah satu peristiwa yang berkenaan dengan ini dapat di cermati pada peristiwa konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia. Demikian juga politik ekonomi berkenaan bantuan yang di terima RI dari RCC melalui perdagangan bilateral atas dasar government to government (G to G). dalam perdagangan G to G ini, RRC memperoleh keuntungan politik di samping keuntungan ekonomi yang tidak sedikit. Sebagai contoh dapat di sebutkan di sini perdagangan karet. Ekspor karet indinesia ke RRC di selenggarakan dengan check price yang  sangat rendah, dan oleh RRC di atur sedemikian rupa sehingga karet itu jatuh di singapura dengan harga local sampai berselisih 5-6 $ sen per lbs, dan setelah di olah disana menjadi karet yang lebih baik mutunya barulah di kirim ke RRC atau hongkong sebagai bahan baku. Dari bahan baku ini di buat ban mobil di RRC. Dalam hubungan ini, bahwa satu-satunya fasilitas untuk mengolah karet rakyat yang di kirim dari Indonesia itu pada masa konfrontasi hanya sampai pada batas perairan territorial singapura, disana sudah siap kapal untuk menampung karet itu untuk di masukan kesingapura, sedangkan kapal yang dating dari Indonesia itu meneruskan perjalanannya ke hongkong dengan muatan karet Malaya yang lebih baik mutunya.
Transaksi karet yang menggambarkan transaksi-transaksi karet rakyat Indonesia dengan RRC pada hakikatnya adalah pembelian bahan baku yang murah oleh RRC, kemudian di jual kembali sebgai barang jadi yang mahal ke Indonesia yang di sebut bantuan luar negeri. Dalam hal ini yang di sebut bantuan pada hakikatnya adalah hasil keuntungan RRC dari pembelian karet rakyat Indonesia. Kebijakan perdagangan dan perkreditan luar negeri yang di lakukan oleh pemerintah demokrasi terpimpin, terutama selama tiga tahun terakhir telah membawwa Negara republic Indonesia kedalam lingkungan pengaruh politik RRC sampai titik kulminasinya dalam pemberontakan G-30-S/PKI.
Dalam rangka usaha untuk membiayai proyek-proyek presiden / mandataris MPRS, presiden soekarno mengeluarkan instruksi presiden No.018 tahun 1964 dan kepuusan presiden No.360 tahun 1964, yang berisi ketentuan-ketentuan mengenai perhmpunan dan penggunaan “dana-dana revolusi”. “dana revolusi” tersebut pada mulanya di peroleh dari pungutan uang call SPP dan dari pungutan yang dikenakan pada pemberian izin impor dengan deffered payment. Yang dimaksud dengan deferred payment ialah semacam impor yang di bayar dengan kredit (kredit berjangka 1-2 tahun) karena tidak cukup persediaan devisa.
Sekitar permulaan tahun1964, menteri urusan banj sentral, jusuf muda dalam, telah mengemukakan kepada presiden, “bahwa penghimpunan dan pengeluaran dana itu akan lebih memeperhebat laju inflasi yang mempunyai akibat tidak baik bagi keuangan Negara”. Namun, presiden soekarno tetap pada kehendaknya untuk mengimpun dana itu serta menyatakan bahwa ia tidak takut kepada inflasi. Pada waktu itu persediaan devisa menipis sekali. Jika pemerintah mengimpor atas dasar pembelian tunai, barang-barang yang masuk sangat sedikit, untuk menjaga kebutuhan dalam negeri di putuskan untuk mengimpor atas dasar kredit.
Akan tetapi, dalam praktik, barang-barang yang di impor dengan menggunakan deferred payment khusus itu adalah barang-barang yang tidak membawa manfaat bagi rakyat banyak, bahkan sebaliknya merupakan brang-barang yang sudah di jadikan bahan spekulasi dalam perdagangan, misalnya scooter dan barang-barang luks lainnya. Jumlah izin impor dengan amerika bagi barang yang di impor dengan deferred payment khusus ini importer harus membayar antara Rp.250,00 – Rp.1000.00 (uang lama) untuk dana revolusi selain harus membayar dengan valuta asing dalam jumlah tertentu. Pada umumnya yang mendapat izin deferred payment ini adalah importer yang di sponsori oleh presiden soekarni sendiri.
Akibat kebijakan kredit luar negeri ini utang-utang Negara semakin meningkat, sebaliknya ekspor semakin menurun.
Utang luar negeri di bayar dengan kredit baru atau melalui penangguhan pembayaran. RI tidak mampu lagi membayar tagihan-tagihan luar negeri, yang mengakibatkan adanya insolvensi nasional. Oleh karena itu, sering terjadi bahwa beberapa Negara menyetop impornya ke Indonesia karena utang-utang tidak di bayar. Di dalam negeri, kondoso itu sangat mengganggu, menghambat, atau mengacaukan produksi, distrubusi, dan perdagangan serta menimbulkan kegelisahan di kalangan penduduk.
“dana revolusi” itu di gunakan untuk membiayai proyek-proyek mandataris MPRS dan proyek-proyek yang di restui oleh presiden soekarno. Menteri bank sentral, Jusuf muda dalam, diberikan kuasa untuk mengelola “dana revolusi” itu. Salah satu tindakan yang dilakukan olehnya ialah memberikan kredit dari dana itu kepada orang lain atau perusahaan-perusahaan dengan rente tertentu agar jumlah dana bertambah terus. Kepada peusahaan-perusahaan yang bukan sektor produksi pun diberi kredit khusus dari “dana revolusi” yang pemberiannya menyimpang dari pemberian kredit biasa yang melalui syarat-syarat perbankan, sampai kira-kira mencapai jumlah Rp338 miliar (uang lama).
Prosedur penggalangan pengelolaan dana revolusi yang kurang tepat dapat berakibat mengacaukan ekonomi dan peredaran uang. Tidaklah mengherankan jika inflasi itu meningkat sampai sedemikian tingginya karena pemerintah sama sekali tidak mengindahkan jumlah uang yang beredar. Kekacauan semakin hebat lagi sejak dikeluarkan keputusan Menteri Keuangan RI No.1/M 1961 tanggal 6 Januari 1961,yang menentukan, bahwa neraca Bank Indonesia tidak boleh lagi diumumkan. Sementara itu, dengan keputusan Perdana Menteri No.85/PM/1964 tertanggal 4 Mei 1964, Bank Indonesia diizinkan untuk mengadakan penyertaan modal dalam perusahaan-perusahaan.
Di keluarkannya keputusan tersebut berdampak luas terhadap masyarakat, misalnya:
1.      Bank Indonesia sebagai bank sentral tidak dapat lagi menjalankan fungsinya sebagai pengatur peredaran uang.
2.      Neraca Bank Indonesia tidak dapat diketahui oleh rakyat lagi.
3.      Neraca Bank Indonesia yang tidak di umumkan itu mendorong usaha-usaha spekulasi dalam bidang ekonomi dan perdagangan.






6.      Uraian Deskritif  Tentang Sistem Ekonomi Indonesia
Pada saat lahirnya orde baru (1966) ekonomi Indonesia masih dalam taraf transisi, sebab masih berlaku system ekonomi Indonesia dengan ekonomi terpimpin (zaman soekarno). Proses perkembangan jearah ekonomi terpimpin kurang cocok bagi bangsa Indonesia, hal ini antara lain karena:
1.      Ekonomi terpimpin tidak mempunyai atruran-aturan yang jelas,demikian kata Nugroho Notosusanto (praktek ekonomi terpimpin presiden soekarno sebagai ekonomi liar, karena berjalan tanpa aturan-aturan yang jelas).
2.      Ekonomi terpimpin merupakan pencerminan dari konsep deklarasi ekonomi (DEKON) yangmenyatakan bahwa menciptakan susunan ekonomi yang bersifat nasional dan demokratis yang bersih dari sisa-sisa feodalisme dan mencapai tahap-tahap ekonomi sosialis Indonesia tanpa adanya penghisapan manusia oleh manusia.
3.      Menurut Tobing yang di edit oleh Abdulah madjid dan sri edi swasono menjelaskan bahwa seiring dengan system demokrasi terpimpin di bidang politik, maka di bidang kehidupan ekonomi organisasi sosio ekonomi masyarakat berpedoman kepada orde ekonomi terpimpin yang sejiwa dan sebangun dengan system demokrasi terpimpin.
4.      Ekonomi terpimpin tidak konsekuen dalam control penerapan pasal 23 UUD tentang fungsi dari DPR pada pertanggung jawab pada anggaran belanja Negara. Hal ini di sebabkan kekuasaan presiden yang terlalu besar. Sehingga pertanggung jawaban / control / persetujuan hanya “formalitas” yang tak sesuai dengan UUD ’45.
5.      Menurut Anne Booth dan Peter Mc. Cawley labilitas perekonomian yang terjadi tahun 1958 dan 1965 di bidang kebijaksanaan fiscal dan moneter pada waktu itu telah menimbulkan akibat jangka panjang yang bersifat negatif.
6.      Dengan pengalaman-pengalaman yang membarika interpretasi yang keliru, maka ekonomi terpimpin (bung Hatta) Das Soleen dan Das Sein tidak senada dan jauh berbeda maka ekonomi terpimpin yang dapat mengingatkan kita pada pelaksanaan orde lama.











Daftar Pustaka
1.      Sejarah Nasional Indonesia VI (Zaman Jepang & zaman Republik Indonesia). Marwati Djoened Poespenogoro, Nugroho Noto Susanto.
2.      Sistem Ekonomi Indonesia. Drs. Niam Sovie, Universitas Terbuka 1995.
3.      Pengantar Ekonomi & Ekonomi Pancasila. Prof.Dr.H. Rochmat Soemiro, S.H
4.      Aspek Keuangan Daerah. Dr.Hj. Eny Rochaida, SE., M.Si
5.      Buku Ekonomi 2. Suradjaiman
6.      Perekonomian Indonesia (Dalam Lintasan Sejarah). Achmad Munif, SE., MM
7.      Ekonomi Mikro (Pengantar Ilmu Ekonomi 1). Bayu Pramutoko, SE., MM.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar